Karen Agustiawan: \"We’ve Gone So Far\"

Written By bopuluh on Sabtu, 19 Oktober 2013 | 23.42


Oleh: EVY RACHMAWATI dan NUR HIDAYATI
KOMPAS.com -
Sepekan lalu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan diumumkan merebut posisi ke-6 dalam jajaran 50 wanita paling kuat di dunia bisnis versi majalah "Fortune Global". Penghargaan di tengah sorotan isu yang belum selesai tentang Pertamina.Karen dinilai berhasil mengelola Pertamina dengan pendapatan 70 miliar dollar AS dan laba bersih 2,7 miliar AS menyabet peringkat 122 pada "Fortune Global 500". Pertumbuhan laba bersih sebesar 15 persen sejauh ini merupakan pencapaian tertinggi dalam sejarah Pertamina.

Pertamina menembus jajaran perusahaan dengan kinerja terbaik versi majalah bisnis terkemuka itu karena dinilai mampu mencapai tingkat pertumbuhan berkelanjutan. Penilaian juga didasarkan pada kinerja keuangan serta aspek manajemen kesehatan, keselamatan, keamanan, dan pengelolaan lingkungan.

Pertamina adalah badan usaha milik negara yang sempat dilekati intervensi dan muatan politik, terbelit utang luar negeri, serta dibayangi isu korupsi dan kolusi. Karen diharapkan membawa Pertamina ke era yang baru.

Pada Maret 2013, masa jabatan Karen sebagai Direktur Utama Pertamina diperpanjang. Ketika pertama dilantik pada Februari 2009, ia menegaskan, tak akan bertoleransi dengan segala bentuk intervensi.

Sudah berhasilkah menjaga Pertamina dari intervensi?

Iya. Kalau enggak, governance Pertamina tidak akan naik. Sebenarnya kalau kita bicara pada siapa pun yang akan intervensi dengan justifikasi kuat, pasti mundur sendiri. Ada harga yang harus dibayar dengan Pertamina masuk "Fortune 500". Kita tidak bisa lagi bisnis rugi. Walaupun bukan perusahaan publik, sekarang semua mata mengawasi mau ke mana Pertamina. Saya kira pantauan seperti ini bagus. Saya punya banyak watch dog.

Apakah banyak tekanan?

Satu-satunya dirut BUMN yang enggak tambah tua cuma Dirut Pertamina lho. Berarti saya enggak merasa tertekan. Mungkin orang lain yang tertekan dengan saya, tetapi saya enggak ngerti.

Pertamina punya banyak lapangan migas, tetapi pengembangannya tidak optimal?

Saya setuju. Sebetulnya di hulu, banyak cadangan migas C2 (cadangan potensial), hanya saja cadangan itu sampai sekarang belum jadi P1 (cadangan terbukti). Ini karena di Pertamina hanya ada bagian eksplorasi, lalu langsung bagian produksi. Bagian pengembangan kosong. Padahal, dari C2 ke P1 harus ada proses pengembangan. Di perusahaan asing, pengembangan sangat kuat.

Sekarang kita mulai menggarap bagian pengembangan. Bagian ini akan memilah mana aset yang bisa cepat diproduksi dengan infrastruktur termurah dan yield (imbal hasil investasi) tercepat. Saya tantang anak-anak perusahaan untuk pilih cadangan potensial yang siap dikembangkan. Arus modal kita terbatas. Jadi, cadangan potensial yang punya risiko akan dikerjasamakan dengan pihak lain.

Saat ini mayoritas lapangan migas di sini dikelola asing. Bagaimana peran Pertamina?

Pertamina mengambil alih ONWJ (Blok Offshore North West Java) dari BP saat produksinya sudah turun. Blok WMO (Blok West Madura Offshore) bahkan sudah ditinggalkan kontraktornya sebelum kontrak berakhir. Waktu platform (anjungan) turun di ONWJ, kami bisa mengangkat tiga platform-nya. Ini pertama di dunia, apa yang kurang (kemampuan mengelola lapangan migas).

Saya mengakui, di sana-sini belum optimal, tetapi tolong obyektif menilai Pertamina, we've gone so far. Masalahnya, apakah ada keinginan membangun NOC (perusahaan migas milik negara).

Tetapi, kemampuan Pertamina mengelola Blok Mahakam masih diragukan?

Blok Mahakam itu siapa sih yang tidak mau mendanai? Cadangan terbukti, produksinya jelas. Kalau ada yang bilang dananya dari mana, berarti orang itu tidak tahu pasar. Kalau saya punya aset, produksi gas 1.000 mmscfd (juta kaki kubik per hari) saja, saya bisa melaksanakan IPO (penjualan saham perdana), bisa langsung ambil manfaatnya. Apalagi, ini cadangannya ada beberapa BCF (miliar kaki kubik). Pertamina ini dihargai tinggi di luar, tapi di dalam negeri banyak opini negatif.

Tetapi, sebagai korporasi, Pertamina masih kalah dibandingkan Petronas?

Iya, memang Pertamina masih jauh dibandingkan Petronas sekarang. Kalau mau fair, bandingkan Petronas ketika baru 10 tahun berdiri dengan Pertamina sekarang. Karena Pertamina baru mulai berpikir secara korporasi setelah menjadi persero 10 tahun lalu. Sementara Petronas sudah dalam bentuk korporasi sejak dibentuk.

Pertamina itu tidak usah ditantang A, B, C, D. Apa Petronas itu juga ditantang waktu mau tumbuh? Petronas malah dikasih uang berjudi untuk beli aset 10 miliar dollar AS. Memang migas itu judi. Sementara kalau kami mau beli aset, dikritik. Kalau tidak mau berisiko, buka toko di garasi saja.

Kami juga governance (membeli aset). Memutuskan harus bottom up, lewat pendampingan pihak ketiga, disetujui direksi, komisaris, dan pemegang saham. Jadi proses korporasi dijalankan. Lha kok dibilang macam-macam. Orang yang kritik ini pasti tidak pernah kerja di korporasi.

Untuk membesarkan Pertamina, apakah akan fokus akuisisi blok-blok migas di luar negeri?

Untuk mencapai pertumbuhan produksi migas 2,2 juta barrel setara minyak tahun 2025, kita ingin 30 persen (total produksi dari blok migas) di luar negeri, dan 50 persen dari aset dalam negeri.

Keuntungannya, Pertamina 100 persen milik negara, dividen dan pajaknya ke negara. Silakan lihat, berapa belanja modal di Blok WMO dan ONWJ saat belum diambil alih Pertamina, dan berapa kali lipat belanja modal Pertamina untuk memajukan ONWJ dan WMO. Kalau kita punya aset, kita bukan main kertas (jual-beli hak partisipasi blok). Kita betul-betul mengoperasikan.

Impor minyakSalah satu bisnis Pertamina yang rawan kolusi adalah pengadaan impor minyak mentah dan produk bahan bakar minyak (BBM). Karen menjanjikan, proses impor minyak kini lebih transparan karena proses lelang secara elektronik tidak lagi menyertakan pedagang antara. Pertamina membeli langsung dari produsen atau kilang dengan harga patokan yang bisa diakses terbuka.

Namun, persoalan tak kalah krusial adalah ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak mentah dan produk BBM yang makin tinggi.

Bagaimana mengurangi ketergantungan impor minyak?

Saya setuju subsidi BBM dikurangi dan bertahap dihilangkan. Subsidi harus didistribusikan tertutup. Kalau kita mau tumbuh dan membangun infrastruktur, yang pakai BBM bersubsidi hanya sepeda motor, nelayan, dan transportasi publik. BBM bersubsidi off diganti batubara dan gas.

Kita tidak bisa mengembangkan shale gas (gas serpihan batuan shale) kalau kita tidak punya infrastruktur seperti Amerika Serikat. Shale gas itu bukan soal teknologi, tetapi infrastruktur. Pada saat mengembangkan gas dari Blok Masela dan Natuna, harapan saya saat itu pemerintah sudah membangun seluruh infrastruktur jaringan. Prioritasnya dalam negeri. Jadi semua kebutuhan energi dipenuhi oleh resources kita. Itu cita-cita saya, mimpi saya.

Kilang terakhir dibangun 1994, mengapa tidak ada penambahan kilang baru?

Impor minyak adalah konsekuensi meningkatnya konsumsi domestik. Sementara produksi minyak terus turun dan Indonesia lambat menambah kapasitas kilang (kapasitas kilang saat ini 40 juta kiloliter per tahun, kebutuhan 56 juta kiloliter per tahun). Untuk mengatasi itu, Pertamina berupaya meningkatkan kapasitas lima kilang yang ada dan akan membangun kilang baru. Kilang harus dibangun walaupun tidak akan masuk keekonomian. Itu harus dianggap infrastruktur.

Pertamina bekerja sama dengan Kuwait Petroleum dan Saudi Aramco untuk membangun kilang. Dengan Saudi Aramco, saat ini sedang finalisasi FS (studi kelayakan). Dengan Kuwait Petroleum, FS sudah selesai, tetapi terkendala insentif yang belum disetujui pemerintah.

Pembangunan kilang perlu investasi besar sementara margin kecil sehingga investor perlu insentif. Atau, jika pembangunan kilang didanai APBN, itu harus diperlakukan sebagai biaya pembangunan infrastruktur karena menyangkut ketahanan energi. Namun, kilang hanya solusi jangka pendek. Ingat, minyaknya juga dari luar negeri karena produksi minyak mentah dalam negeri (829.000 barrel per hari pada September 2013) tidak mencukupi kebutuhan yang makin tinggi.

Satu-satunya cara adalah dengan diversifikasi energi, antara lain dengan biodiesel. Untuk biodiesel, menurut saya, Pertamina harus masuk sampai ke hulu, ke perkebunan, walaupun bukan mayoritas agar bisa kontrol harga. Karena kita akan memasarkan di hilir.

Indonesia kaya sumber daya energi, tetapi manfaatnya belum optimal bagi masyarakat?

Pemerintah perlu memetakan kebijakan lokal di tiap daerah. Apa saja bisa jadi energi, masalahnya mau atau tidak? Masyarakat di daerah terpencil perlu dibantu, misalnya dengan subsidi teknologi, untuk menghasilkan energi dari daerah itu sendiri. Ini negeri kepulauan. Tidak mungkin ada single master grid (jaringan induk tunggal) yang bisa ke mana-mana. Perlu lebih banyak Ibu Tri Mumpuni (wirausahawan sosial pembangkit listrik mikrohidro) yang lain. Saya dari dulu tertarik pada usaha kecil dan menengah karena bisa masuk ke daerah terpencil. BUMN-BUMN besar tidak mungkin masuk, kecuali dengan CSR (tanggung jawab sosial).

Mahkamah Konstitusi membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas. Bagaimana seharusnya tata kelola migas ke depan?

Kembalikan pada amanat konstitusi, kekayaan alam migas harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi, migas bukan sekadar komoditas, tapi punya nilai strategis bagi bangsa. Pengelolaannya harus mengutamakan kepentingan bangsa. Pertamina yang sepenuhnya dimiliki negara seharusnya diberi peran utama.

Asuransi Perlu atau Tidak? Temukan jawabannya disini

Editor : Erlangga Djumena


Anda sedang membaca artikel tentang

Karen Agustiawan: \"We’ve Gone So Far\"

Dengan url

http://seepersonality.blogspot.com/2013/10/karen-agustiawan-gone-so-far.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Karen Agustiawan: \"We’ve Gone So Far\"

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Karen Agustiawan: \"We’ve Gone So Far\"

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger