Oleh Mawar Kusuma
SEPERTI selalu ada yang baru ketika menginjakkan kaki di "Pulau Dewata". Kejutan kali ini datang dari bocah-bocah lugu di desa tua Tenganan, Karangasem. Sejak bayi, anak-anak di desa di sebelah timur Bali ini sudah dipersiapkan untuk mengukuhi budaya warisan nenek moyang.
Jika tidak bertanya kepada orangtua mereka, orang akan mengira Putu Darwis (3,5) dan Wahyu (3) adalah bayi perempuan. Mereka tampil cantik dengan perhiasan anting-anting emas bulat di kedua telinga. Hanya nama lahir yang menjadi tanda jenis kelamin mereka.
"Sesaat setelah lahir, bayi laki-laki harus mulai memakai anting. Biasanya akan dilepas di usia lima tahun," kata Ratih (30), ibunda dari Wahyu.
Ibunda Putu Darwis, Marianti (31), sama sekali tak tahu alasan tradisi perhiasan anting bagi bayi lelaki dari Desa Tenganan. Ia hanya meneruskan kebiasaan yang berlaku di desa yang dikelilingi perbukitan itu.
Tenganan memang menyimpan keunikannya sendiri. Desa ini berbeda dengan desa lain di Bali karena mewarisi adat istiadat Bali Aga (pra-Hindu). Mereka menyatakan diri sebagai penghuni asli Pulau Bali.
Desa lain di Bali yang termasuk Bali Aga antara lain Trunyan, Sembiran, Cempaga, Sidetapa, Pedawa, dan Tigawasa. Penduduk Bali Aga sudah mendiami Bali sebelum pengaruh Kerajaan Majapahit meluas ke arah timur sekitar abad ke-14. Puluhan bocah dari Tenganan segera membaur di balai desa ketika rombongan wisatawan berdatangan ke desa yang telah menjadi destinasi wisata tersebut.
Warga segera menyuguhi para tamu dengan sajian tari Bali dan sate lilit khas Bali yang super pedas. Kepala Desa Tenganan I Putu Suarjana lalu menjelaskan sejarah Desa Bali Aga Tenganan yang sudah ada sejak abad ke-11.
Komunitas ini berbeda dengan mayoritas masyarakat Hindu Bali karena hampir tidak mengenal strata kelas sosial. Warga biasanya hanya menikah dengan sesama warga Tenganan. Prosesi pemakaman warga Tenganan juga unik karena jasad mereka dikubur tanpa pakaian dengan posisi telungkup menghadap ke arah laut. Di daerah ini juga tidak dikenal ngaben atau kremasi jenazah sebagaimana umumnya dilakukan di Bali dataran.
Luasan wilayah Desa Tenganan mencapai lebih dari 900 hektar. Tiap pekarangan yang terdiri dari empat unit bangunan rumah hanya dihuni satu keluarga. Satu unit bangunan digunakan untuk proses kelahiran dan satu unit lainnya hanya untuk persiapan proses pemakaman.
Jepretan kolang-kaling
Kelian Adat Desa Tenganan, I Ketut Sudiastika mengatakan bahwa seluruh kehidupan warga Tenganan dilingkupi dengan upacara keagamaan yang harus dipatuhi dari sejak masih di kandungan. "Anting-anting menjadi salah satu ciri khas pria dari Desa Tenganan," kata Sudiastika.
Lubang untuk menyangkutkan anting di telinga bayi dibuat dengan ritual khusus. Biasanya, bayi-bayi lelaki harus sudah dilubangi telinganya dari sejak usia tiga bulan.
Pohon kolang-kaling merupakan simbol kekuatan. Lubang anting-anting di dua telinga ini menjadi simbol identitas kami.
-- Sudiastika
Menurut Sudiastika, lubang itu dibuat dengan jepretan buah kolang-kaling yang dipotong berbentuk cincin. "Pohon kolang-kaling merupakan simbol kekuatan. Lubang anting-anting di dua telinga ini menjadi simbol identitas kami," tambah Sudiastika.
Tiga hari setelah dijepret, lubang telah terbentuk sempurna. Bayi-bayi mungil itu lantas siap memakai anting. Setelah dewasa, kaum pria dari Desa Tenganan wajib menghiasi diri dengan anting dari daun pisang ketika digelar upacara keagamaan.
Bagi warga Tenganan, hidup memang seperti menjadi rangkaian dari upacara ke upacara. Setelah akil-balig, mereka harus dikarantina selama satu tahun untuk mempelajari adat istiadat warisan leluhur. Generasi muda Tenganan itu lantas diajak berkeliling desa untuk mengenali batas wilayah.
Tradisi menulis awig atau aturan adat hingga tulisan epos Ramayana dan Mahabharata di atas daun lontar pun tetap dipertahankan. Cara paling populer mempertahankannya dengan menggambar dan menuliskannya dalam bentuk suvenir untuk para turis. Desa Tenganan biasanya ramai dikunjungi turis ketika digelar ritual perang pandan yang berlangsung 30 hari di bulan Juni.
Pantai alami
Desa Tenganan terletak berdekatan dengan obyek wisata Pantai Candidasa. Candidasa merupakan cerminan Pantai Kuta pada beberapa dekade lalu. Kecantikan Pantai Candidasa terus bertahan alami tanpa polesan. Pantai Candidasa menyajikan keunikan hamparan pasir putih sekaligus pasir hitam.
"Saya bangun di pagi hari dan enggan meninggalkan hotel. Panorama Pantai Candidasa dari kamar hotel sangat luar biasa indah," kata Jamy, turis asal Perancis.
Berbeda dengan Pantai Kuta yang sudah disesaki pertokoan, restoran, dan bar, Candidasa memang masih bernuansa pedesaan. Terletak di Dusun Sumuh, Desa Bugbug, Karangasem, Candidasa bisa ditempuh dua jam perjalanan naik mobil dari Denpasar.
Destinasi ini cenderung sunyi sehingga pengunjung bisa dengan mudah menemukan ketenangan. Gerusan abrasi menjadi salah satu penyebab sehingga kunjungan wisatawan ke kawasan pantai nan cantik ini tak sebanyak Pantai Kuta atau Sanur.
Beberapa wisatawan asing memilih menikmati Candidasa dengan menyewa jukung nelayan dan memancing ke tengah laut. Sebagian di antara mereka menyelam di antara gugusan pulau-pulau kecil yang berarus deras.
Untuk menahan gerusan abrasi, tanggul pemecah ombak tampak dibangun di beberapa titik pantai. Tanggul pemecah ombak itu bersanding dengan beberapa pura yang berdiri kokoh di pinggir pantai.
Warga Candidasa, I Ketut Subaga, mengaku terkenang suasana Pantai Kuta beberapa puluh tahun lalu tiap kali menatap Pantai Candidasa. Dulu, ia harus menerobos ladang dan rerimbunan pohon di tegalan milik penduduk jika ingin menikmati matahari tenggelam di Pantai Kuta.
Kemurnian Desa Tenganan dan kealamian Candidasa mampu memberi kenangan unik tentang keaslian dan keasrian Bali....
Anda sedang membaca artikel tentang
Bocah-bocah Beranting dari Tenganan
Dengan url
http://seepersonality.blogspot.com/2013/03/bocah-bocah-beranting-dari-tenganan.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Bocah-bocah Beranting dari Tenganan
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Bocah-bocah Beranting dari Tenganan
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar